Wednesday, August 23, 2006

pasar Blok A - 9.00 wib

macet, panas, berdebu
motor, bajaj dan mobil saling berebut mendahului
dengan pengemudi yang tidak ramah
tidak pernah ada satupun senyuman tergores di muka mereka
hanya angkuh dan emosi yang tersirat.
Ibu dan anaknya mengurungkan niat untuk sekedar menyeberang jalan
seorang pemuda berpakaian lusuh menerjang arus setelah lama menunggu
mengomel sendiri dan memaki-maki pengendara yang terus membunyikan klakson
di pojok jalan tampak 2 orang polisi lalu lintas dengan motor besarnya
asyik mengobrol dengan pedagang koran

Thursday, August 10, 2006

Kebakaran di Sambas

4 truk pemadam kebakaran meraung raung sirene-nya
membelah kemacetan di sekitar Panglima Polim
2 mobil sedan polisi sebagai penunjuk jalan
dan 1 mobil kijang membawa beberapa personel untuk mengamankan lokasi
Malam itu taman Sambas tampak ramai sekali oleh kerumunan orang-orang
mereka bergerombol di pojok taman
Fajar, Ateng dan Edo bahkan meninggalkan dagangannya untuk membantu atau sekedar melihat kebakaran
Aku yang baru selesai les dan kebetulan melewati daerah situ pada awalnya tidak perduli akan keadaan tersebut
Masa bodoh akan apa yang terjadi
Tapi entah kenapa ada sesuatu yang membuatku yakin untuk sekedar menengok ada apakah gerangan
Mencapai perempatan motorku berbelok, terus memasuki jalan komplek yang sudah sangat aku kenal
Melewati kerumunan orang, memarkirkan motor di gardu takjauh dari kejadian
Menemui Katrin dan keluarga yang berurai airmata
bertanya kenapa gerangan, apakah penyebab kebakaran?
"Mungkin karena setrikaan?" dia bilang dengan tak yakin

Sedih melihatnya, rumah yang pernah menjadi tempat bernaungku
Tempat istirahat sewaktu awal di Jakarta
Tempat yang begitu strategis di tengah kota yang dekat aksesnya darimanapun

*ikut berduka untuk Om Naser dan keluarga atas musibah yang menimpa.

Monday, August 07, 2006

Lari Sore

Sore hari itu begitu cerah
matahari di ufuk barat bersinar terang
tetapi tidak terlalu panas

Langit sudah mulai kehilangan warna birunya
perlahan pudar tergantikan oleh warna kekuningan
Burung sore mulai terbang di atas lintasan lari
Keluar dari sarangnya di sudut-sudut atap stadion
Terbang kesana kemari tanpa irama

Berbeda dengan yang terjadi dibawahnya
puluhan manusia membentuk jalur teratur
menciptakan satu kesatuan arus
yang tidak terbedakan oleh status
semua hanya ingin berlari
memanaskan tubuh agar berkeringat
dan membuat rona merah di wajah

Kontrol

Tahun beranjak tahun,semakin berbeda apa yang kita rasakan kini dengan apa yang kita rasakan dahulu
Sejak pertama kali melihat matahari setelah dimanjakan oleh rahim ibu, kita langsung terikat akan berbagai aturan-aturan.
Entah itu aturan agama, yang merupakan bawaan dari orang tua atau juga aturan-aturan keluarga. Kita bahkan belum bisa berpikir dan menimbang-nimbang apakah setuju atau tidak dengan aturan tersebut. Kita menerimanya begitu saja.

Memasuki usia sekolah kita dihadapkan pada aturan lagi, aturan yang merupakan kebijaksanaan para dewan guru terhormat.
Seiring pertumbuhan otak dan pergaulan yang semakin komplek, diri kita mulai melakukan pemberontakan dan penolakan yang menjadi bukti ekspresi akan eksistensi kita. Mempertanyakan aturan-aturan tersebut, dan seringkali pemberontakan tersebut berujung pada kemarahan orang tua ataupun skorsing dari guru.
Saat berada pada usia yang lebih tinggi, kita dihadapkan lagi pada kondisi bagaimana kita harus memanage diri, membentuk kontrol yang kuat, membuat aturan sediri tentang bagaimana kita menjalani kehidupan.

Kontrol tersebut menjadi salah satu tolok ukur yang akan membedakan baik dan buruk yang batasnya semakin bias dan tidak jelas.
Kontrol itu pulalah yang akan menjadi landasan untuk membentuk siapa kita, merumuskan apa yang menjadi tujuan hidup dan meyakinkan kita akan berbagai pilihan hidup.
Dan ternyata, menciptakan kontrol terhadap diri bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Diperlukan perjuangan dan kesadaran untuk melakukannya.