Friday, December 12, 2008

Negara yang maju adalah negara yang mencintai perkembangan seni dan budaya, karena 2 hal ini adalah faktor penting sebagai tolak ukur peradaban. Tapi sayangnya di Indonesia ini menjadi begitu terbalik, bukannya menciptakan kemajuan justru seni dan budaya yang sudah ada bukannya dijaga dan dikembangkan tetapi malah hanya menjadi wacana yang dikesampingkan, lihatlah gedung-gedung tua, tari-tarian yang tak terkira indahnya, semua menjadi sebuah peninggalan yang tersia-sia dan tak terurus.

Saat banyak Negara berlomba mendirikan pusat-pusat kesenian, Indonesia malah berlomba-lomba menelantarkannya. Lihatlah Singapura yang mulai meninggalkan image-nya sebagai pusat belanja, dan mendirikan begitu banyak museum dan pusat kesenian, sementara disini, sepertinya masih bertahan menjadi Negara konsumerisme yang mencoba menjadi pusat belanja tetapi belum juga berhasil.
Indonesia terlalu sibuk membuat aturan-aturan bodoh yang tak masuk akal, seperti contohnya UU Pornografi yang telah lalu, dan sekarang mulailah bergulir wacana memakai institusi agama untuk mengharamkan rokok. Padahal di belahan bumi manapun yang mayoritas agamanya sama tak pernah ada ide bodoh seperti ini, atau mungkin Indonesia ingin tampil menjadi pelopor dengan menciptakan hukum yang bahkan di kitab suci pun tak pernah ada. Lalu atas dasar apa harus ada hukum seperti ini, apakah nanti harus dibikin lagi kapling baru di neraka khusus untuk para perokok.
Sementara dibalik itu para pemegang keputusan yang rata-rata sudah mencapai usia yang seharusnya tampil menjadi contoh dan bersikap matang malah terlalu sibuk mencari wanita-wanita muda untuk bisa dinikahi secara tanpa aturan, kalau tak percaya tengoklah berita hangat akhir-akhir ini.
Lalu apakah bangsa ini akan menjadi Negara yang biadab, mulai kehilangan rasa sensitif terhadap apapun.

Dan, sensitifitas itu akan muncul saat seorang manusia atau sebuah bangsa mulai melihat dan memperhatikan perkembangan seni, karena seni adalah puncak dari ekpresi manusia. Seni adalah persatuan rasa dari semua indera manusia, saat menikmatinya manusia menjadi tidak terkotak-kotakan, manusia merasa menjadi lebih hidup karena merasa kaya akan banyak hal, tidak melulu tentang uang dan kesenangan, ada banyak hal lain lagi yang lebih menarik mungkin salah satunya adalah tentang petualangan dan menciptakan sesuatu.
Dan Indonesia seharusnya mulai berbenah untuk menuju ke arah hal itu, menjadi sebuah Negara dan bangsa yang menghargai seni dan budaya.

Monday, December 08, 2008

Langit berteriak kala ada kesakitan,
Awan hitam berarak kala ada air mata yang mengalir.
Matahari terasa kelam saat ada wajah yang sendu.
Tetapi
Pohon, bunga, air, dan angin akan menebarkan harum semerbak
Saat ada senyum yang tersungging.

Inilah keindahan yang berjalan, pujaan bumi dan seisinya.
Keindahan yang seharusnya tak akan hilang oleh cacian.
Keindahan yang terabadikan oleh syair dan pahatan
Keindahan yang begitu sempurna, tinggi, dan tinggi sekali.
Begitu tingginya sampai tak ada tangan yang bisa menggapainya
Sehingga keindahan itu akan kesepian, tanpa teman, berdiri abadi.

Tuesday, December 02, 2008

Orang-orang itu telah membuatnya sesak nafas, bermacam tindakan bejat bebas merajalela diantara ruang dan tembok-tembok kerajaan. Menebarkan bau busuk yang menyengat diantara gerbang kori sehingga tidak ada lagi harum bunga wijayakusuma sebagai tanda keluhuran dan martabat kerajaan. Perjanjian-perjanjian dengan bangsa Belanda dibuat untuk menyenangkan segelintir orang yang bahkan tidak mengerti apakah perjanjian ini menggadaikan tanah leluhurnya kelak kemudian hari, semua mementingkan kesenangan untuk terus menggemukan perutnya. Inilah masa tersulit yang dihadapi oleh kasunanan dan mengapa Bagus Burhan harus melihatnya, saat dia beranjak dewasa.

Entah pikiran apa yang membuatnya harus melangkahkan kaki menjauh dari kekeruhan yang terjadi. Kosong, pikiran Bagus Burhan tidak menyisakan satupun ruang untuk bisa berpikir secara jernih. Sepanjang perjalanan, Bagus Burhan memandangi deretan perkebunan yang menghijau, walau indah di mata ini tidak membuat Bagus Burhan terhibur, tetapi semakin menambah pedih perasaannya, karena dia tahu bahwa perkebunan hijau ini hasilnya adalah semata-mata untuk dijual dan dikirim ke tanah milik bangsa lain, sementara disini bangsanya sendiri harus menderita dan mengais-ngais untuk bisa makan. Ditambah juga perilaku pengawas perkebunan yang sebagian besar juga berdarah pribumi terlihat begitu kejam pada bangsanya sendiri seolah dia lupa bahwa ada ikatan darah yang mengalir. Sungguh takabur bangsaku sekarang ini.

Bagus Burhan terdiam, sementara matanya tetap terpaku memandang tajam deretan rerumputan hijau di kejauhan. Telah puluhan kilometer dia berjalan, mencoba pergi dari kerumunan orang yang membuat hatinya tersiksa, sengaja dia mencari tempat ini dimana dia bisa berpikir tentang banyak hal. Menuliskan perasaannya pada lembaran lontar yang selalu dibawanya kemanapun.

Tepat di hari ini peruntungan ini, karena inilah hari dimana dia dilahirkan, Bagus Burhan mulai menuliskan satu demi satu rangkaian kata yang berisi tentang ketidak beresan yang terjadi di sekitarnya. Sebuah tembang dan syair yang harusnya berisi puji-pujian untuk penguasa digantinya dengan susunan kalimat yang berisi tentang kehidupan yang sesungguhnya, memuji alam dan manusia, mengutuk kebejatan perilaku yang membawa kehancuran. Dia tidak mau terkekang, dia ingin membiarkan pikirannya bebas, dia tidak ingin menjadi manusia yang terbeli.
Dia ingin menuliskan cinta dengan tulus, memuji keindahan dengan tanpa cela, dan menjadikannya sebuah inspirasi untuk bisa hidup.


2 December 2008