Tuesday, December 02, 2008

Orang-orang itu telah membuatnya sesak nafas, bermacam tindakan bejat bebas merajalela diantara ruang dan tembok-tembok kerajaan. Menebarkan bau busuk yang menyengat diantara gerbang kori sehingga tidak ada lagi harum bunga wijayakusuma sebagai tanda keluhuran dan martabat kerajaan. Perjanjian-perjanjian dengan bangsa Belanda dibuat untuk menyenangkan segelintir orang yang bahkan tidak mengerti apakah perjanjian ini menggadaikan tanah leluhurnya kelak kemudian hari, semua mementingkan kesenangan untuk terus menggemukan perutnya. Inilah masa tersulit yang dihadapi oleh kasunanan dan mengapa Bagus Burhan harus melihatnya, saat dia beranjak dewasa.

Entah pikiran apa yang membuatnya harus melangkahkan kaki menjauh dari kekeruhan yang terjadi. Kosong, pikiran Bagus Burhan tidak menyisakan satupun ruang untuk bisa berpikir secara jernih. Sepanjang perjalanan, Bagus Burhan memandangi deretan perkebunan yang menghijau, walau indah di mata ini tidak membuat Bagus Burhan terhibur, tetapi semakin menambah pedih perasaannya, karena dia tahu bahwa perkebunan hijau ini hasilnya adalah semata-mata untuk dijual dan dikirim ke tanah milik bangsa lain, sementara disini bangsanya sendiri harus menderita dan mengais-ngais untuk bisa makan. Ditambah juga perilaku pengawas perkebunan yang sebagian besar juga berdarah pribumi terlihat begitu kejam pada bangsanya sendiri seolah dia lupa bahwa ada ikatan darah yang mengalir. Sungguh takabur bangsaku sekarang ini.

Bagus Burhan terdiam, sementara matanya tetap terpaku memandang tajam deretan rerumputan hijau di kejauhan. Telah puluhan kilometer dia berjalan, mencoba pergi dari kerumunan orang yang membuat hatinya tersiksa, sengaja dia mencari tempat ini dimana dia bisa berpikir tentang banyak hal. Menuliskan perasaannya pada lembaran lontar yang selalu dibawanya kemanapun.

Tepat di hari ini peruntungan ini, karena inilah hari dimana dia dilahirkan, Bagus Burhan mulai menuliskan satu demi satu rangkaian kata yang berisi tentang ketidak beresan yang terjadi di sekitarnya. Sebuah tembang dan syair yang harusnya berisi puji-pujian untuk penguasa digantinya dengan susunan kalimat yang berisi tentang kehidupan yang sesungguhnya, memuji alam dan manusia, mengutuk kebejatan perilaku yang membawa kehancuran. Dia tidak mau terkekang, dia ingin membiarkan pikirannya bebas, dia tidak ingin menjadi manusia yang terbeli.
Dia ingin menuliskan cinta dengan tulus, memuji keindahan dengan tanpa cela, dan menjadikannya sebuah inspirasi untuk bisa hidup.


2 December 2008

0 Comments:

Post a Comment

<< Home