Saturday, September 27, 2008

Seri 1.

Tantra menelan ludahnya sendiri, lidahnya kelu. Ada banyak makian yang tertahan dimulutnya, dia sangat geram karena tak mampu berbuat apapun. Di depan matanya dia melihat sendiri bagaimana puluhan tentara itu bertindak begitu kejam menyiksa seorang pedagang yang kini hanya mampu merintih menahan luka-luka di tubuhnya. Hampir setengah jam dia hanya mampu berdiri tertegun di tempatnya, sementara sepatu boots tentara-tentara itu bergantian menghajar wajah si pedagang. Tanpa sedikitpun rasa belas kasihan mereka melakukannya. Penyiksaaan ini terus berlangsung di depan ratusan orang yang menyemut di pasar malam ini, dan semuanya hanya diam dan seolah tutup mata atas kejadian ini.

“Kenapa ini harus terjadi?” pikir Tantra. Hanya gara-gara sebuah jeruk yang hanya seharga 1 kepeng maka nyawa menjadi taruhannya. Nasib pedagang itu memang sial hari ini, dia tak akan mengira kalau peruntungannya untuk berdagang di pasar malam kali ini akan menjadi mimpi buruk yang tak akan pernah bisa dia lupakan seumur hidupnya. Hanya karena dia menolak memberikan jeruk dagangannya ke salah seorang tentara yang sedang mabuk maka dia harus babak belur bahkan mungkin cacat. Para tentara Belanda itu memang kurang ajar, merasa merekalah yang paling berkuasa maka mampu berbuat apa saja terhadap rakyat kecil, bahkan bisa bermain-main dengan nyawanya. Bahkan kalaupun saat itu para tentara itu membunuh si pedagangpun tak akan terjadi apa-apa, karena nasib si pedagang pribumi tak masuk dalam hitung-hitungan hukum di negara ini.

Negara yang harusnya besar dan membuat penduduk aslinya hidup sejahtera malah keadaannya sungguh terbalik. Bangsa Jawa menjadi budak di tanahnya sendiri, mereka mengolah tanah dan kekayaan negerinya hanya untuk memberi makan segelintir orang Eropa berkulit putih yang unggul karena persenjataan lengkapnya. Sekelompok minoritas yang datang dari seberang lautan antah berantah itu bisa tidur dan makan kenyang di atas tanah yang seharusnya bukan menjadi miliknya, sementara sang pemilik asli harus tidur dengan perut kosong di depan kebun-kebun subur yang hasilnya sama sekali tidak bisa mereka nikmati. “Ironis sungguh ironis, menyedihkan sekali nasib orang Jawa sekarang ini” kata-kata itulah yang terus terngiang di kepala Tantra.

Langkah Tantra gontai, dia tak berniat lagi untuk bertemu dengan Siwi pacarnya untuk menikmati pasar malam kali ini. Dia bahkan tak mempedulikannya lagi, pasar malam ini bagaikan siksaan yang terus menerus menusuk hatinya. Perih dan sakit sekali dia merasakan, ketika melihat sekilas gedung-gedung besar di sepanjang jalan dekat pasar Gede yang menjadi pusat keramaian malam ini. Tantra merasa pasar malam ini bukan untuknya, penduduk pribumi seperti dia tak pantas untuk menikmati hiburan seperti ini. Dia bergegas berbalik arah menuju regol kraton untuk kembali ke rumahnya, biarlah besok saja bertemu dengan Siwi dan menceritakan semuanya. Dia tak tahan, tubuhnya seperti habis jatuh dari kuda, remuk dan babak belur. Matanya sembab, kepalanya berat oleh berbagai pikiran yang tak menentu. Tak tahu harus berbuat apalagi, dia hanya ingin segera pulang ke rumahnya dan memejamkan mata, melupakan kejadian tragis yang terjadi.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home