Monday, August 04, 2008

Tapak kaki kudaku yang seperti besi ini terus menapak di jalanan kerikil yang kadang-kadang tajam dan melukai. Tapi aku harus terus menjalani, tak ada kata menyerah, karena menyerah hanyalah untuk orang yang kalah.
Panahku yang terasah tajam siap ku luncurkan, tak pernah kupedulikan hembusan angin yang kadang terasa seperti badai. Mataku memicing, mencoba melihat sasaran panahku yang tertutup kabut, sebentar ada dan sebentar hilang.
Aku meringkik, tubuhku bergidik, bulu-buluku berdiri, aku menyiapkan seluruh tubuh dan mentalku.
Tak kupedulikan bekas-bekas luka di tubuh yang kadang masih terasa sakit dan mengeluarkan tetesan-tetesan darah segar.
Dari atas bukit ini, saat matahari tenggelam, aku meringkik, kakiku menapak dan aku melompat, menuju lereng terjal yang penuh bebatuan.
Keseimbangan ini tak boleh goyah, karena banyak batu licin yang berserakan, lumut telah melapisinya dengan sangat sempurna.
Satu persatu aku telah berhasil melewati bebatuan ini dan anak panahku masih terjaga rapi di busurnya. Tak terjatuh dan terlepas.
Dari batu terakhir, diantara aliran air sungai kakiku mencoba menapak kuat, aku tak ingin terpeleset dan terjatuh. Aku memicingkan mata, kulihat kembali targetku. Mataku tajam seperti elang, tak akan kulepaskan sedikitpun dari pandanganku.
Kupasang panahku dibusur, kurentangkan talinya dengan sangat kuat. Dan dari titik ini kulepaskan anak panahku yang meluncur kencang membelah angin.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home