Friday, July 11, 2008

Di balik batu Borobudur-1

Seperti diburu oleh sesuatu, Gatya berlari dengan sangat kencang menerobos rerimbunan rumput di depannya. Dia bahkan tak peduli lagi pada ternak gembalaanya yang berlarian tak karuan karena terkagetkan oleh tingkahnya, tujuannya hanya satu yaitu secepat mungkin sampai di desanya. Tetapi entah kenapa dia merasa kali ini jalan yang dia tempuh sangatlah jauh padahal sudah ratusan kali dia melewati jalanan ini untuk menggembalakan ternaknya.
Sungai Elo sudah berhasil dia seberangi, artinya hanya tinggal melewati pekuburan di depannya maka akan sampailah dia di desanya. Pikirannya tak karuan, dia ingin segera memperingatkan penduduk desa akan bahaya yang datang. Bahaya besar yang dia lihat saat menggembalakan ternaknya di padang rumput tadi. Langkah Gatya terhenti, matanya tajam memandang kepulan asap yang membumbung dari desanya, telinganya mendengar jeritan-jeritan manusia yang silih berganti. Dia terlambat, ternyata rombongan prajurit berkuda yang dilihatnya tadi lebih cepat darinya. Gatya tertunduk lemas, mukanya memperlihatkan ekpresi sedih dan kecewa.
Dengan langkah perlahan dia menyelinap diantara pepohonan yang mengelilingi desanya, peristiwa menyedihkan terjadi di depannya. Desa yang merupakan tanah tempat tinggalnya selama 18 tahun kini tak berbentuk lagi, deretan rumah yang terbuat dari jerami sederhana habis dilalap api dengan asap yang menyeramkan. Puluhan mayat orang tua dan anak kecil yang sangat dia kenal bergelimpangan di sudut-sudut jalan, tak dilihatnya teman-temannya, desa kecil ini kini tak lagi bertuan.
Gatya menangis, mulutnya berteriak dengan kencang, dia sangat menyesali keterlambatannya sehingga kini dia sendirian seperti ini. Dengan penuh kesedihan dia menuju rumahnya. Seperti rumah lainnya, rumahnya hanya bersisa bekas-bekas terbakarnya jerami. Tak ada satupun keluarganya dia temukan, di pojok rumah dilihatnya tubuh kakeknya tergeletak dengan mengenaskan, tampak luka robek akibat tombak terbekas di tubuhnya.
Gatya menggeram, matanya tajam. Hanya ada dendam disitu.

Serombongan prajurit berkuda dengan gagah melewati padang rumput yang terhampar hijau. Di belakang rombongan tampak puluhan orang berpakaian seadanya terikat berbaris, kesedihan dan terpaksa tergurat dari masing-masing mereka. Tak ada anak kecil dan orang tua, bekas luka-luka kecil tampak menggurat di tubuh mereka. Terus ke selatan mereka beriringan berjalan terus melewati padang rumput hijau yang teramat luas.
Dari atas bukit Gatya hanya mampu melihat dari kejauhan. Tangannya erat menggenggam tombak panjang pemberian ayahnya yang bahkan tak dia kenali wajahnya.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home