Sore itu.
Sempat aku kebingungan ketika dia tersenyum. Secara spontan aku langsung melihat kebelakang apakah ada orang lain yang mungkin lebih berhak menerimanya, tapi tak satupun kulihat ada yang bereaksi. Kerumunan orang-orang dibelakangku terlalu asyik dengan aktifitasnya masing-masing. Lalu apakah benar senyum itu memang untukku, rasanya tak mungkin, karena tak kukenal sekalipun wajahnya. Bahkan 5 menit yang lalu tak kulihat dia disitu, jadi tak mungkin gerak-gerikku bisa menarik dia untuk bisa tersenyum padaku.
Entahlah, tapi senyumnya tadi begitu menyenangkan karena kulihat ada keindahan disitu, bisa kubaca dari matanya.
Aku lalu bereaksi dan kucoba tersenyum untuk membalasnya, tetapi tampaknya reaksiku ini sudah terlambat, dia sudah menutup senyumnya. Dia sudah membalikkan wajahnya untuk menatap burung-burung merpati yang sedang menikmati makanannya di halaman ini.
Sekarang akulah yang menjadi salah tingkat, keasyikanku membaca buku yang telah kulakukan sejak hampir satu jam ini telah terbelah. Pikiranku semakin tidak karuan, karena kebingungan. Bermacam-macam scenario terus bergantian memenuhi relung-relung otakku, drama tentang ragu-ragu dan senang bercampur aduk disitu. Entahlah, begitu pikirku.
Dan, inilah keputusanku. Duduk dengan tenang kembali membuka lembar demi lembar bukuku, membaca setiap urutan kata yang tercatat disitu. Menikmati sore ini dengan diriku sendiri, tapi memang aku tak bisa berbohong, ekor mataku tetap memperhatikan dia.
Waktu berselang, kulihat dia berdiri dan bisa kuperhatikan dia menoleh kepadaku, menebar lagi senyumnya sebelum dia berjalan dengan langkah pasti dan membuat burung-burung merpati itu terbang.
Berjalan dan terus berjalan menuju deretan kafe yang tertata rapi di trotoar dan akhirnya hilang dari pandanganku saat dia berbelok untuk memasuki jalan kecil yang memisahkan bangunan-bangunan tua berarsitektur menakjubkan yang berada di komplek ini.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home